بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
"Karena aku lelaki terhormat dan makelar kopi."
-Droogstoppel-
Well, mungkin sudah takdir kali ya kalau gue bakalan membeli buku ini. Yap! Bener banget, buku ini berjudul Max Havelaar (Biasanya ada di pilihan ganda pas ujian Sejarah :p ), yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker dengan menggunakan nama samaran Multatuli.
Sebenarnya waktu itu gue pengennya beli roman-roman karya Pram dan waktu ngelihat ke deretan buku-buku, gak sengaja gue ngeliat buku ini. Entah kenapa jadi pengen beli, sementara hepeng-ku terbatas :(
Setelah berpkir dan menimbang-nimbang, kayanya sih gue bisa beli roman karya Pram entaran aja waktu di Bandung. Lagipula, kapan lagi gue bisa baca buku yang membuat orang-orang seperti Soekarno dan Tjipto Mangunkusomo bisa mengecap pendidikan. Berkat buku ini-lah politik etis dihadirkan ke Hindia Belanda, yang pada ujung-ujungnya nih membuka mata Bumiputera bahwa kita ini sebenarnya sedang terjajah. Tidak bermaksud hiperbolik sih, tapi menurutku kita tidak akan pernah bisa mendengar "Tujuh belas Agustus tahun 45, itulah hari kemerdekaan kita..." seandainya buku ini tidak pernah terbit.
Eduard Douwes Dekker sendiri sebelum menulis buku ini merupakan pegawai pemerintah Hindia Belanda selama 17 tahun! Apa yang tertera dalam buku ini sebagian besar berdasarkan pengalamannya selama menjadi pejabat pemerintah Hindia Belanda. Gue secara pribadi berterima kasih kepada dia atas keberanian dan kelurusan hati yang ia miliki, dua hal yang bahkan sampai sekarang ini merupakan sesuatu yang sangat jarang.
(Multatuli artinya "Aku Menderita")
Dalam pos kali ini, gue bakalan nyeritain secara garis besar apa yang udah gue baca dan memberikan opini-opini pribadi gue. Jadi sebelum membaca, sorry ya bos kalau bakalan spoiler cerita dan mungkin ada hal-hal yang tidak bersesuaian antara hatiku dan hatimu :p
***
Cerita dimulai dari seorang saudagar kopi Belanda bernama Batavus Droogstoppel. Droogstoppel merupakan pemimpin dari firma dagang kopi milik mertuanya, Last & Co, bisa dikatakan bahwa dia merupakan seorang yang sangat kaya untuk ukuran tahun 1850-an. Kopi-kopi yang diperdagangkan berasal dari tanah jajahan Negeri Belanda, Hindia Timur. Droogstoppel merupakan orang yang "SANGAT LURUS", dia beranggapan bahwa kebanyakan orang terlalu berlebih-lebihan dalam bersikap dan terlalu suka ikut campur dalam urusan orang lain. Droogstoppel berkali-kali mengatakan dalam novel ini, bahwa dia adalah lelaki terhormat dan makelar kopi, lelaki terhormat hanya akan melakukan apa yang menjadi urusannya. Droogstoppel membenci syair dan para penyair sebagai akibat dari sikapnya yang memandang bahwa penyair suka berlebih-lebihan. Droogstoppel merupakan seorang Protestan yang taat dan bisa dikatakan agak fanatik, terlihat di berbagai sisi novel dia suka merendahkan kelompok agama kristen lain seperti Katolik dan Lutheran. Droogstoppel memiliki pandangan bahwa kekayaan yang ia miliki adalah akibat dari kesetiaannya terhadap Tuhan, sementara kemiskinan merupakan hukuman dari Tuhan terhadap kekafiran.
Droogstoppel sendiri merupakan penggambaran dari kebanyakan masyarakat Belanda saat itu yang buta terhadap apa yang sebenarnya terjadi pada Hindia. Apa yang mereka miliki saat itu adalah keangkuhan dan anggapan diri yang selalu memandang diri merekalah yang paling benar. Droogstoppel sama sekali tidak memahami, seperti kebanyakan orang Belanda saat itu, bahwa kekayaan yang mereka miliki berasal dari penindasan terhadap rakyat Hindia Timur.
(Ik ben makelaar in koffie -Batavus Droogstoppel-)
Masalah muncul tatkala Droogstoppel mengetahui bahwa sekutu bisnis Jerman-nya, Ludwig Stern, ditawari kerja sama oleh rival-nya dalam berbisnis kopi, Busselinck & Waterman. Dia lalu mengirim surat kepada Ludwig Stern agar tidak menerima tawaran tersebut karena dia akan memberikan keringanan pada Tuan Stern dalam berbisnis kopi dan ditambah lagi dengan dia akan memberikan kesempatan putra Ludwig Stern, Ernst Stern, untuk bekerja dan tinggal bersamanya.
Singkatnya Ernst Stern datang ke Belanda untuk tinggal dan bekerja bersama-nya. Droogstoppel kurang menyukai Ernst karena pertama ia adalah penganut Lutheran dan yang kedua karena dia beranggapan bahwa Ernst memberi pengaruh buruk untuk kedua anaknya, Fritz dan Marie, melalui puisi yang dibuat olehnya (Ernst merupakan orang yang menyukai puisi).
Droogstoppel tanpa sengaja kemudian bertemu dengan seseorang yang ia sebut tuan Sjaalman yang artinya adalah pria ber-syal. Sjaalman memakai pakaian yang kumuh dan jelek, ditengah dinginnya malam di Amsterdam, Sjaalman sendiri hanya mengenakan syal, berbeda dengan Droogstoppel yang mengenakan rompi mewah dan hangat. Terkuaklah bahwa Droogstoppel dan Sjaalman adalah teman satu kelas ketika mereka masih sekolah dahulu. Sjaalman dulu pernah menolong Droogstoppel ketika dia akan dipukul oleh pedagang Yunani, ketika Sjaalman kemudian diserang oleh pedagang Yunani tersebut, Droogstoppel malah lari (sesuai dengan prinsip itu urusanmu bukan urusanku, lelaki terhormat tak akan melakukan hal semacam itu).
Dari ingatannya itu, Droogstoppel mengambil kesimpulan bahwa Sjaalman ia temukan dalam keadaan miskin karena keangkuhan dan kesenangannya dalam mencampuri urusan orang lain. Sjaalman sendiri tak lain adalah tokoh utama dalam cerita ini, Max Havelaar.
Max kemudian mengirim Droogstoppel sebuah paket yang berisi catatannya selama dia berada di Hindia dan arsip-arsip penting mengenai perkebunan kopi di sana. Max meminta kepada Droogstoppel untuk menjamin penerbitan buku yang ia buat (Max sangat miskin untuk menerbitkan buku), Droogstoppel awalnya menolak tapi akhirnya menerima ketika melihat catatan perkebunan kopi di Hinda dan ketelitian Max dalam menulis arsip (Droogstoppel sedang mencari sekertaris baru untuk firma-nya).
Ernst Stern kemudian mempelajari semua catatan dan arsip yang dikirimkan oleh Max. Dia pula-lah, karena kegilaannya dalam dunia tulis menulis, yang mengubah paket Max sendiri menjadi sebuah bentuk tulisan yang terbagi atas beberapa bab.
***
Hindia Timur atau Hindia Belanda meliputi apa yang kita sebut sebagai Indonesia saat ini, dengan Aceh merupakan keresidenan terakhir yang bergabung pada tahun 1920-an.
Pemerintah dikepalai oleh Gubernur Jendral yang berkedudukan di Batavia, Gubernul Jendral menjadi perwakilan Raja Belanda di tanah Hindia. Pekerjaan seorang Gubernur Jendral dibantu oleh sebuah dewan pemerintahan yang juga berkedudukan di Batavia.
Hindia Timur dibagi atas beberapa keresidenan (kita sekarang mengenalnya dengan nama provinsi) dengan seorang Residen diangkat menjadi pemimpinnya. Sebuah keresidenan akan dibagi-bagi lagi menjadi beberapa wilayah yang disebut kabupetan, yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Asisten Residen akan dibantu oleh seorang bupati, yang biasanya merupakan seorang bangsawan yang berpengaruh pada daerah tersebut.
Pada kenyataannya, posisi seorang bupati tidak bisa diganggu gugat dan bersifat hampir permanen. Berbeda sekali dengan posisi lain di Hindia yang diganti secara priodik. Kerajaan Belanda memang menggunakan pengaruh para bangsawan (Sultan atau Pangeran-pangeran daerah tertentu) untuk menjalankan politik-nya di tanah jajahan. Belanda memanfaatkan kepatuhan dan kepolosan penduduk Hindia terhadap para bangsawan. Sebagai sebuah catatan, seorang bupati memiliki gaji lebih tinggi dibandingkan pegawai Hindia lainnya untuk membiyayai gaya hidup para bangsawan yang borju.
(Belanda dan Bangsawan Pribumi)
Max Havelaar merupakan Asisten Residen Lebak, menggantikan Asisten Residen sebelumnya, Tuan Slotering yang meninggal dunia. Max tengah menyelidiki dokumen-dokumen yang ditinggalkan oleh pendahulu-nya dan menemukan ada sesuatu yang tidak benar di kabupaten yang ia urus. Dalam penyelidikan tersebut Max dibantu oleh seorang pegawai Belanda lainnya, Verbrugge. Verbrugge juga telah bekerja dengan Asisten Residen Lebak sebelumnya.
Kediaman Max di Lebak selain dihuni oleh istrinya, Tine, dan anaknya yang juga bernama Max, dihuni juga oleh keluarga Slotering. Aneh-nya Keluarga Slotering, terutama Madam Slotering, enggan berhubungan dengan Max maupun pejabat lainnya. Madam Slotering merupakan wanita blasteran pribumi dan Belanda yang hanya mampu berbahasa Melayu, Max berasumsi bahwa hal inilah yang menghasilkan sikap aneh Madam Slotering.
Max sebelum berdinas di Lebak, juga telah bekerja di Ambon dan Mandailing. Selama bekerja di Mandailing, Max sempat berisi tegang dengan Jendral van Damme yang berposisi di Padang. Ketegangan ini disulut oleh keengganan Max untuk menyerahkan ketua adat Mandailing, yang menurut-nya tak bersalah. Kelurusannya saat berada di Mandailing membuatnya tidak disukai oleh pejabat pemerintah baik yang pribumi maupun orang-orang Belanda sendiri.
Pada masa itu Belanda tengah memberlakukan Culturstelsel atau kita lebih mengenalnya dengan tanam paksa. Rakyat diwajibkan untuk menanam tanaman-tanaman tertentu selain padi untuk kepentingan ekonomi negeri Belanda. Tanaman-tanaman tersebut diantaranya adalah karet, kopi, dan tembakau. Tanam paksa sebenarnya tidak akan terlalu membebani petani jika dilakukan sesuai dengan aturan yang ada, namun di sinilah banyak penyelewangan itu terjadi. Petani dipekerjakan pada tanam paksa melebihi batas waktu yang ditentukan (Batas waktu tanam paksa adalah tiga bulan), kelebihan produksi juga tidak dikembalikan kepada petani seperti yang tertera pada peraturan. Bupati lebak saat itu, Raden Adipati Kartanegara, diketahui menerima komisi lebih dengan cara "menjual" rakyat-nya sendiri pada sistem yang diberlakukan oleh Belanda saat itu. Petani tidak diberi kesempatan untuk mengurusi ladang-nya sendiri, sehingga hal tersebut menyebabkan kekosongan lumbung pangan dan menimbulkan kelaparan hebat di Lebak.
Bupati Lebak hidup bermewah-mewah dengan alasan untuk menjaga kewibawaan kaum bangsawan ditengah banyak terjadinya kelaparan dan pemberontakan. Selain penyelewangan sistem tanam paksa, juga sering terjadi perampasan harta rakyat yang dilakukan oleh para bangsawan pribumi sendiri.
Havelaar sendiri sudah banyak menerima informasi tersebut dari arsip yang dimiliki oleh Tuan Slotering dan rakyat yang secara diam-diam melapor kepadanya. Yang membuat Max merasa aneh adalah, tidak adanya sikap tegas yang diberikan oleh Residen Banten saat itu, Tuan Slijmering. Bahkan dari dokumen-dokumen peninggalan Tuan Slotering sendiri, Max mengetahui bahwa dalam laporan yang dikirimkan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada Kerjaan Belanda, Lebak dalam "kedamaian yang damai". Semua kepedihan yang dialami oleh rakyat Lebak seakan-akan ditutup-tutupi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Max juga mengetahui bahwa Asisten Residen sebelumnya, Tuan Slotering, telah sering berhubungan dengan Residen Banten terkait hal yang terjadi di Lebak. Tuan Slotering sendiri telah merencanakan tindakan tegas kepada bupati Lebak, namun sebelum hal itu terjadi Slotering telah terlebih dahulu meninggal dunia.
***
Untuk lebih memahami apa yang dialami oleh rakyat, Multatuli kemudian menyuguhkan sebuah roman yang ia ciptakan sendiri tentang sepasang kekasih bernama Saidjah dan Adinda.
Saidjah dan Adinda tinggal di Desa Badur, distrik Parang Kujang, Keresidenan Banten. Kedua sejoli ini telah dijodohkan oleh keluarga mereka semenjak kecil.
Keluarga Saidjah telah mengalami perampasan atas kerbau milik mereka sebanyak tiga kali oleh pemerintah, sementara kerbau tersebut diperlukan untuk membajak sawah. Singkat cerita, karena panen gagal, keluarga Saidjah tidak memiliki uang dan makanan untuk membayar pajak tanah, sehingga rumah Saidjah-pun dirobohkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ayah Saidjah kemudian berupaya untuk mencari pekerjaan di Buitenzorg, malah ditangkap dan kemudian meninggal di penjara. Ibu Saidjah dan adik-adiknya kemudian menyusul kepergian sang ayah, meninggalkan Saidjah sebatang kara.
Tidak adanya pendapatan membuat Saidjah memiliki ide untuk bekerja ke Batavia. Dia kemudian pergi menemui kekasih-nya, Adinda, dan berjanji untuk menemui-nya kembali setelah tiga tahun. Dia akan mengumpulkan uang, kemudian membelikan uang tersebut untuk membeli dua ekor kerbau. Saidjah kemudian merantau ke Batavia, bekerja di sebuah istal kuda dalam kerinduannya yang mendalam dan penantiannya untuk bertemu Adinda kembali.
Setelah tiga tahun dan mengumpulkan cukup banyak uang, sesuai janji-nya Saidjah pulang kembali ke kampung-nya. Dia berharap dapat bertemu kembali dengan kekasihnya, Adinda. Namun hal itu tak ditemukannya, malahan ia menemukan bahwa rumah Adinda telah berubah menjadi debu. Keluarga Adinda tidak mampu membayar pajak tanah yang seharusnya dibayarkan, hal ini membuatnya bernasib sama dengan keluarga Saidjah.
Setengah gila, Saidjah berupaya mencari tahu keberadaan Adinda pada penduduk desa Badur. Dia mengetahui bahwa ternyata keluarga Adinda telah pergi ke Lampung. Saidjah kemudian membeli sebuah perahu dan pergi berlayar ke Lampung. Di sana dia bergabung dengan orang-orang Badur yang memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda, hanya untuk mengetahui dimana Adinda-nya berada. Setelah sekian lama mencari, dia akhirnya menemukan bahwa Adinda keluarga-nya telah tewas dalam suatu penyerbuan yang dilakukan oleh tentara Hindia.
Dalam keputusasaan, Saidjah kemudian pergi menghadap tentara Hindia, untuk kemudian mati terbunuh oleh bayonet seorang serdadu Hindia.
(Serdadu Hindia Belanda)
***
Max kemudian akhirnya dapat berbicara dengan Madam Slotering yang selama ini menjadi orang yang cukup tertutup pada orang lain. Madam Slotering kemudian bercerita bahwa suaminya dahulu telah berupaya untuk melakukan tindakan tegas kepada Bupati Lebak, namun hal tersebut tidak pernah diindahkan oleh Residen Banten. Suatu hari Tuan Slotering mengalami sakit perut hebat, lalu kemudian meninggal dunia. Dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa Tuan Slotering mengalami peradangan hebat pada hati-nya. Madam Slotering mengatakan bahwa sebelumnya Tuan Slotering tidak pernah menderita penyakit hati. Dugaan bahwa Tuan Slotering diracun menguak dalam pikirannya. Hal itu menyebabkan Madam Slotering tidak merasa aman bersama para pejabat Hindia Belanda. Cerita Madam Slotering kemudian diperkuat oleh keterangan Verbrugge yang akhirnya memiliki keberanian untuk bercerita secara jujur kepada Max.
Mengetahui hal tersebut, Max segera mengambil tindakan tegas dengan mengirim surat kepada Residen Banten agar Bupati Lebak segera menerima hukuman atas tindakannya. Sama seperti pendahulu-nya, Tuan Slotering, Residen Banten enggan menanggapi permintaannya secara serius. Dia kemudian malah dipindahtugaskan ke Ngawi, mengetahui hal tersebut, Max akhirnya mengirimkan surat pengunduran diri-nya.
Havelaar dan keluarga-nya kemudian pergi ke Batavia, di sana dia berupaya untuk menemui Gubernur Jendral Hindia Belanda untuk mengadukan persoalan yang terjadi di Lebak. Permohonan-nya untuk menemui Gubernur Jendral ditolak beberapa kali, dan hingga sang Gubernur Jendral angkat kaki dari Hindia Belanda, Max tak pernah memiliki kesempatan untuk menemui-nya.
Akhir cerita ditutup dengan amukan Multatuli terhadap pemerintah Belanda yang buta dan membiarkan ketidakadilan meraja lela di Hindia.
***
Novel ini secara khusus ditargetkan untuk masyarakat Belanda pada kala itu. Bagi gue, Multatuli sendiri seakan-akan memaksa rakyat Belanda untuk memilih, apakah akan bersifat apatis layaknya Droogstoppel atau memilih jalan terjal keadilan yang diusung oleh Havelaar.
Mula-nya gue agak kesulitan dalam menentukan cerita apa yang hendak disampaikan oleh Multatuli. Pada bab-bab awal dia menceritakan Droogstoppel dengan segala celoteh dan pendapatnya tentang dunia. Agak membosankan memang, apalagi bahasa terjemahan yang digunakan kadang sedikit membingungkan. Cerita mengenai penderitaan yang dialami oleh rakyat Lebak sendiri baru muncul pada bab ke-15, dari 20 bab yang dimuat dalam novel ini. Sebagian besar bab menceritakan politik kolonial secara umum pada saat itu serta pengalaman-pengalaman Max dalam 17 tahun pengabdiannya pada pemerintahan kolonial.
Gue paling menyukai bagian kisah cinta Saidjah dan Adinda, debaran jantung sangat terasa keras sekali ketika membaca kalimat per kalimat. Ada rasa penasaran yang aneh ketika membaca bagian itu, rasa penasaran yang mungkin merupakan personifikasi dari hidup gue sendiri, sebuah pertanyaan bahwa kemanakah kisah cinta ini akan berakhir? Multatuli menghadirkan puisi yang ia tulis sendiri dalam bahasa Melayu pada bagian ini. Sebuah puisi tentang penantian Saidjah terhadap Adinda-nya. Gue orang yang menyukai syair.
Mengagetkan memang bahwa kita saat itu tidak hanya dijajah oleh Belanda, namun oleh bangsa kita sendiri. Bupati-bupati yang sebagian besar merupakan bangsawan justru memperbudak rakyat yang seharusnya ia lindungi. Para bangsawan tersebut haus akan kejayaan, kewibawaan, nama yang tinggi di kalangan rakyat. Hal tersebut membuat mereka melakukan daya upaya untuk mendapatkan kekayaan, meskipun harus mengorbankan banyak orang. Memang benar tampaknya bahwa prilaku korup sendiri telah dimulai semenjak zaman kolonial dulu. Gue ngelihat prilaku-prilaku kotor seperti ini masih menjadi cancer yang menggerogoti sistem pemerintahan kita hingga saat ini. Terutama gue menyoroti Banten yang masih belum sepenuhnya terbebas dari Dinasti Ratu Atut. Gile aje, si eta kaya raya, tapi anak-anak kecil harus mempertaruhkan nyawa menyebrang sungai demi pendidikan.
(Jual ginjal juga masih belum bisa kali, beli mobil gituan)
(Anak-anak Banten)
Menarik memang untuk ditelusuri lebih jauh tentang Bupati Lebak saat itu, Raden Adipati Karta Natanegara. Gue mencari-cari perihal tentang beliau, dugaan gue tepat bahwa ada banyak pembelaan yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait beliau. Salah satu-nya mengatakan bahwa Bupati Lebak merupakan orang yang saleh dan taat dalam beragama. Tapi kadang gue juga berpikir bahwa agama juga telah menjadi label gengsi manusia, sama layaknya dengan harta. Banyak cerita tentang beberapa orang yang menaik haji-kan orang lain dengan hasil uang yang tidak halal. Kita sama-sama tahulah ya...wong dulu sering muncul di televisi. Pengetahuan tentang agama tidak akan menjadikan seorang berakhlak mulia, pemahaman terhadap agama-lah yang memunculkan akhlak mulia tersebut.
Di lain pihak pemerintah Hindia berlaku layak-nya pereman yang rakus akan harta. Mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya, tanpa memperdulikan efek yang ditimbulkan oleh kerakusan tersebut. Mereka memunguti pajak orang-orang tak berdaya, bagai seorang debt collector kejam. Belum lagi sistem tanam paksa yang diterapkan telah menciptakan banyak kesengsaraan di tengah-tengah masyarkat. Pemerintah semakin diuntungkan, sementara rakyat menjagi korban.
Pemerintah Kerajaan Belanda adalah buta dan apatis, mereka tidak peduli, yang penting bisa kaya, gue mah bodo amat sama apa yang terjadi. Rakyat Belanda saat itu seakan tergiur akan pepatah kuno: Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga. Mereka tak sadar bahwa di uang-uang mereka ada darah jutaan rakyat Hindia yang setiap malam harus menangis meratapi lumbung padi yang kosong.
Buku ini menjadi sebuah kontroversi publik di Belanda maupun di Hindia saat penerbitannya. Buku ini membangkitkan semangat kaum Liberal Belanda saat itu untuk melakukan reformasi sosial di tanah jajahan. Lahirlah kemudian politik etis yang menyumbang cukup banyak bagi pergerakan dan kesadaran nasional Bangsa Indonesia.
Gue beranggapan bahwa Douwes Dekker sendiri sampai akhir hayat-nya tetap merupakan orang yang loyal terhadap pemerintahan koloni, dia hanya mengkritik sistem tanam paksa yang menyengsarakan rakyat dan konspirasi busuk yang ada di antara pejabat-pejabat pemerintahan Hindia. Well, beberapa puluh tahun kemudian salah seorang anggota keluarga-nya menjadi pahlawan Indonesia, Ernst Douwes Dekker atau yang lebih kita kenal dengan nama Danoedirja Setiabudi.
Terakhir, buku ini cukup worth lah buat dibaca, ngehabisin waktu liburan yang akan habis dalam waktu hitungan hari :"( Membuka wawasan kita akan sejarah bangsa dan juga memberikan pendidikan moral bagi kita semua.